Dilansir dari id.techinasia.com 29/11/2017. Merger dan akuisisi atau M&A adalah salah satu strategi perusahaan yang selalu menarik perhatian ketika diumumkan. Tak hanya berpotensi mengubah nasib perusahaan 180 derajat, M&A juga menarik karena melibatkan transaksi yang nilainya dapat mencapai jutaan, bahkan miliaran dolar. Malah untuk seorang CEO, M&A bisa menjadi titik puncak kariernya seumur hidup.
Bagi sebagian perusahaan, M&A merupakan bagian dari strategi. Tapi bagi sebagian lainnya justru adalah bencana.
Apa saja faktor yang bisa mempengaruhi situasi merger dan akuisisi? Bagaimana iklim M&A di Asia, khususnya Indonesia, sekarang dan yang akan datang? Simak pemaparan berikut.
Mengapa perusahaan melakukan M&A?
Menurut Amit Anand, Co-Founder Jungle Ventures, merger dan akuisisi bukan sekadar strategi exit, tapi lebih condong pada strategi pertumbuhan perusahaan.
Ada dua hal yang mendorong terjadinya M&A:
- Ketika perusahaan sedang kesulitan.
- Bila perusahaan melihat oportunitas namun tidak cukup sumber daya untuk mencapainya.
Sebenarnya “kesulitan” ini istilah yang terlalu ekstrem, karena di antara sekian banyak startup, hanya 0,0006 persen yang menjadi unicorn. Daripada kesulitan, Anan lebih suka menyebutnya tidak bisa scaling karena berbagai sebab.
Lewat M&A, perusahaan bisa mendapatkan banyak sumber daya untuk scaling lebih cepat, baik berupa modal ataupun jaringan koneksi. Sebastian Togelang dari Kejora Ventures mencontohkan, startup yang tadinya hanya beroperasi di Indonesia bisa melakukan ekspansi regional lewat M&A. Ia menyebut strategi ini sebagai “memperkuat permainan horizontal”.
Beberapa perusahaan juga melakukan M&A karena mereka butuh talenta dari orang tertentu, sehingga memunculkan istilah “acquihiring”.
Tapi yang terpenting dari M&A adalah kecocokan di antara pihak-pihak terlibat. Percuma melakukan akuisisi bila kemudian karyawannya malah pergi karena tidak cocok.
Pertimbangan-pertimbangan penting dalam M&A
“M&A itu seperti mencari pasangan hidup,” kata Anand. Sama seperti pernikahan, M&A ada yang bertahan untuk waktu lama, ada juga yang berakhir singkat.
“Kamu bisa menghabiskan banyak waktu untuk mencari soulmate, atau meminta mak comblang untuk mencarikan orang yang sesuai kriteriamu,” tambahnya lagi.
Tantangan terbesar, pada akhirnya, adalah apakah ekspektasi yang kamu miliki akan sesuai dengan kenyataan. Penting sekali bagi untuk memilih perusahaan yang memiliki budaya, tim, serta visi jangka panjang yang sama. Bila sudah yakin dengan culture fit, baru kemudian kita memikirkan tentang integrasi dan insentif akuisisi.
Kata Sebastian, “Terkadang kami jatuh cinta pada suatu perusahaan pada pandangan pertama. Tapi setelah ngopi-ngopi beberapa kali, barulah kami merasa perusahaan itu tidak baik.” Menjalin kerja sama dengan para broker juga penting. Bantuan broker bisa membantumu mencari partner yang tepat.
Satu hal yang perlu diingat: jangan berusaha mencari M&A ketika uangmu sudah habis.
Rencana untuk merger dan akuisisi justru sudah harus disiapkan dari jauh-jauh hari. Bila tidak demikian, kamu akan sulit menemukan orang yang tepat untuk diajak bekerja sama.
Iklim M&A di Indonesia dan Asia saat ini
Sebastian berkata bahwa saat ini merger dan akuisisi di Indonesia banyak terjadi. Namun perlahan-lahan IPO (initial public offering) mulai tumbuh. Sudah ada beberapa startup Indonesia yang melakukan IPO, seperti MCash. Tapi sebetulnya melakukan IPO juga menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri.
Setelah sebuah perusahaan go public, perusahaan tersebut harus membuka segala rahasianya. Ini tentu tidak ingin dilakukan oleh perusahaan yang masih berusia muda.
Jangan melakukan IPO hanya demi exit. Kamu perlu melakukan rencana jangka panjang. Saat ini, M&A masih merupakan strategi exit yang lebih baik
Co-Founder Jungle Ventures
Kita mungkin sering mendengar merger dan akuisisi oleh pihak asing di Indonesia, seperti ketika Alibaba mengakuisisi Lazada pada tahun 2016. Tapi bukan berarti iklim M&A Indonesia dikuasai oleh asing. Anand bahkan berkata, “Kekuatan Cina itu terlalu dibesar-besarkan.” Mereka memang mau membayar mahal untuk mendapatkan perusahaan yang sudah besar, tapi akuisisi seperti ini sendiri jumlahnya sedikit.
Cina boleh saja punya modal besar, tapi Indonesia juga punya banyak raksasa yang lebih berpengalaman, seperti Djarum, Emtek, dan sebagainya. Mana yang akan menang antara kekuatan lokal dan kekuatan asing ini, masih sulit untuk diputuskan.
Satu hal yang jelas, saat ini ekosistem M&A di Indonesia masih tergolong muda. Dulu M&A dipandang sebagai cara mendapatkan keuntungan, tapi sekarang kita harus memandangnya sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan serta inovasi. Dan Inovasi-inovasi inilah yang dibutuhkan agar perusahaan-perusahaan Indonesia bisa berkembang menjadi kekuatan besar.
Telah terbit di id.techinasia.com dengan judul :
Iklim serta Tantangan Merger dan Akuisisi Startup di Indonesia